Kamis, 27 Januari 2011

MAKRIFATMU DAN MAKRIFATKU BERBEDA BEDA


Ketika Musa sedang berjalan, ia mendengar seorang penggembala sedang berdoa sambil meratap. “Oh Tuhan di manakah gerangan Engkau, karena aku ingin melayani-Mu dan menjahitkan sepatu-Mu, dan menyisirkan rambut-Mu. Aku ingin mencucikan baju-Mu, membunuh kutu kepala-Mu dan membawakan susu untuk-Mu, oh duhai Maha Terpuji.”
Mendengar kata-kata yang dianggap bodoh tersebut, Musa membentak, “Kepada siapa kamu berbicara? Betapa kata-kata itu tidak bermakna; memalukan dan liar! Sumbat mulutmu dengan kapas!… Tuhan yang Maha Agung tidak memerlukan pelayanan seperti itu.” Sang penggembala menjadi amat kecewa dan sedih, dan ia merobek bajunya sambil pergi ke arah yang tidak menentu.
Kemudian datang wahyu Tuhan kepada Musa. “Kamu telah memisahkan hamba-Ku dari Aku…Aku telah anugerahkan kepada setiap manusia cara berdoa masing-masing; Aku telah berikan cara khusus kepada masing-masing untuk menunjukkan cinta. Bahasa yang digunakan oleh orang Hindustan adalah sangat indah bagi pemeluk Hindu, begitu pula bahasa Sindhu yang amat indah bagi pemeluk Sindhu.
Aku tidak melihat pada ucapan lidah, tetapi Aku melihat ke dalam sanubari dan perasaan terdalam hati manusia. Aku melihat ke dalam hati manusia untuk melihat apakah ada kerendahhatian, walaupun ucapannya tidak menunjukkan demikian. Cukuplah sudah segala macam ungkapan dan metofora! Aku menginginkan hati yang membara dengan api cinta, hati yang membara! “
(Do’a Seorang Gembala oleh Jalaluddin Rumi).
***
Assalamu’alaikum wr wb. Apa hakekatnya syahadat? Konon syahadat merupakan kesaksian atas keberadaan Tuhan. Kesaksian hasil dari keimanan dan juga hasil menyaksikan keberadaan Tuhan. Menyaksikan keberadaan Tuhan tentu saja tidak hanya melalui mata, telinga atau panca indera lahir namun juga batin (mata hati yang penuh cinta) sebagaimana yang tercermin dalam prolog Rumi di atas.  Selain itu, kesaksian juga asalnya adalah akal budi.
Pada kesempatan kali ini, ijinkanlah kami mengungkapkan sebuah bahan untuk didiskusikan khususnya soal filsafat ketuhanan agar kita semua menjadi semakin bijaksana. Semoga diskusi seherhana ini benar-benar diskusinya para ahli hikmah (hakekat/esensi) sepanjang masa. Amin.
Kami mulai dengan sebuah pernyataan sederhana. Apakah gula itu manis? Kalau gula itu jawabannya manis. Maka pertanyaan selanjutnya adalah kenapa gula itu manis? Jawabannya adalah karena indera lidah kita merasakan manisnya gula. Kalau kita tidak memiliki lidah, tentu saja semanis apapun gula maka kita tidak akan mampu merasakannya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana asal mulanya syaraf lidah mendeteksi rasa manis tersebut? Pada tahap ini, kita memasuki dimensi metafisis dari rasa.
Pertanyaan kedua, apakah yang ada itu? Apakah yang ada itu karena kita ada? Darimana adanya kita? Dari adanya sesuatu yang lain. Begitu juga dengan saya dan anda. Adanya kita berasal dari adanya orang tua kita. Orang tua kita berasal dari adanya kakek dan nenek kita. Begitu seterusnya hingga akan sampai ke pemahaman metafisis juga. Bahwa penyebab adanya manusia adalah manusia pertama yang ada di bumi ini. Dari mana asalnya manusia pertama itu ada? Dari ada yang tidak bisa disebabkan oleh ada yang lain yang menjadi penyebab pertama adanya segala sesuatu (causa prima), Sang Maha Pencipta yang tidak diciptakan kembali dan selanjutnya. Akal kita adalah alat yang hebat untuk melakukan penalaran. Kita paham dan memahami hal ini.
Namun silahkan diteruskan penalaran kita ini. Kok bisa tahu kalau adanya kita ini berasal dari Tuhan, Sang Ada yang mutlak tersebut? Lha wong kita tidak pernah melihat dengan mata? Apakah alat yang bisa kita gunakan untuk mengakui dan meyakini keberadaan Tuhan? Kenapa kita bisa yakin bahwa Tuhan itu benar-benar ada? Ya, meskipun kita tahu Tuhan itu ada namun kita tidak boleh sok tahu karena Tuhan tidak memperkenankan kita untuk sok tahu. Bukankah DIA juga Maha Berkehendak? Apakah Tuhan tidak bisa meniadakan diri-NYA agar manusia tidak tahu? Tentu saja kalau Tuhan Maha Segalanya, maka DIA bebas melakukan apa saja termasuk meniadakan dirinya. DIA juga memiliki sifat apapun yang tidak hanya 99 nama (Asmaul Husna). Asmaul Husna hanyalah peta manusia yang akalnya terbatas ini untuk memahami betapa luar biasanya DIA. Jelas DIA memiliki lebih dari 99 sifat dan nama, 999 nama, 9999 nama, 9999999 nama, bahkan 999999999999999999 nama dan seterusnya… Bukankah ilmu kita ini hanyalah setitik air di tengah samudra Ilmu-NYA yang tidak punya batas? Oleh karena itu, marilah kita membuat bagan sederhana tentang yang ada.
Dalam khasanah metafisika, setidaknya kita mengenal bahan tentang ada sebagai berikut. Pertama, ada subyek. Adanya “aku” sebagai subyek dimana kita menyadari adanya kita. Kedua, ada obyek. Subyek ini mengakui adanya sesuatu diluar dirinya. Ada kucing, ada bumi, ada langit. Ketiga, ada pada dirinya sendiri (ada an-sich). Ada diluar diri manusia dan pada pangkal sang subyek ini mengenali ada an-sich ini berarti ada an-sich itu sudah menjadi ada obyek. Sebab benar-benar ada an-sich ini tidak bisa dikenali oleh subyek.
Pertanyaan lanjutan adalah Tuhan ini berada di dalam ada yang mana? Apakah ada subyek? Ada obyek? Atau ada an-sich? Kembali ke soal syahadat tadi. Kita sebagai orang beriman yakin bahwa prinsip universal tertinggi adalah syahadat La Ilaha Ilallah: TIADA ILAH/YANG PATUT DISEMBAH KECUALI ALLAH. Nah, tentu saja keimanan itu tidak bisa muncul begitu saja dari mulut. Namun benar-benar harus dihayati dengan seyakin-yakinnya yang sumbernya adalah pengalaman sehari-hari. Selanjutnya, diimplementasikan dalam laku perbuatan sehari-hari. Yang paling sulit adalah bagaimana yakin itu bisa muncul? HIDAYAH/PETUNJUK-NYA memang datang tiada disangka-sangka dan bisa berasal dari jalan mana saja. Namun kita tidak boleh berpangku tangan menunggu datangnya hidayah/petunjuk-NYA ini. Semuanya perlu usaha aktif dari manusia.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa apa yang kita “saksikan” terhadap ada-NYA ini bermacam-macam. Kesaksian kita terhadap kebesaran gunung pun bisa beragam. Bisa jadi pendapat dan apa yang disaksikannya pun berlainan. Sama seperti orang buta meraba gajah. Ternyata gajah itu seperti A, itu karena dia meraba kakinya. OO.. gajah itu seperi B, itu karena dia meraba telinga gajah, gajah itu seperti C, itu karena dia meraga bagian ekornya. Nah, kita tahu bahwa Allah SWT MAHA BESAR, Besarannya bisa kualitatif dan betul betul kuantitatif, wallahu a’lam. Nah, bila pendapat pendapat ini dikumpulkan semoga akan terkumpul sebuah mosaik tentang kebesaran-NYA yang lebih utuh.
Salah satu usaha aktif untuk mendapatkan kesaksian adalah melalui cara berdiskusi, berguru, bertanya jawab. Hal ini cukup penting mengingat setelah periode kerasulan yang diakhiri oleh Muhammad SAW, maka kita diharapkan untuk berguru dan berdiskusi satu sama lain untuk mencapai derajat waliyullah (wali, utusan-NYA dan kita semua ini pada hakekatnya adalah utusan-NYA. Setiap manusia diutus untuk menjadi penyampai atau penyambung lidah risalah-NYA. Kita Alhamdulillah diberi akal dan hati nurani, dan memiliki pendapat tentang ADA-NYA ini. Silahkan memberikan pemahaman dan saling berbagi terhadap soal-soal kesaksian /menyaksikan ada-NYA (bermakrifatullah) ini. Bagaimana cara mendapatkan kesaksian (syahadat) ini? Dan seterusnya. Terima kasih  dan  wassalamualaikum wr wb.
Pikiran bagaikan keledai di lumpur, senantiasa gagal
Menerangkan apakah yang disebut cinta
Cinta sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta
Bukankah seperti matahari, hanya matahari itu sendiri
Dapat menjelaskan apa itu Matahari
Ketahuilah, wahai kau yang ingin mengetahui
Segenap bukti yang kaucari sudah ada di Sana.
(Cinta: Rumi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar